BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Islam
adalah Agama yang hadir di muka bumi ini untuk menyampaikan ajaran-ajaran
tentang kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran Islam
perlu dipahami melalui jalan yang praktis karena fungsi agama ini adalah untuk
memberikan solusi-solusi yang terbaik atas segala problema sosial yang ada
dalam masyarakat. Di era global yang
semakin maju ini perilaku seorang muslim semakin beraneka ragam. Manusia
cenderung mengikuti pola hidup yang mewah dan bergaya, mereka bahkan lupa
dengan adanya etika, moral dan akhlak yang membatasi perilaku mereka. Di zaman
sekarang ini akidah-akidah islam seperti itu tidak terlalu dihiraukan dan
dijadikan pedoman dalam hidup. Karena pada kenyataannya manusia sekarang kurang
pengetahuan tentang etika, moral, dan akhlak.
Berangkat
dari kenyataan di atas, melalui tulisan ini kami mengajak kita semua untuk
kembali memahami dengan seksama pesan-pesan inti agama, yaitu pesan moral, dan
kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun
sosial. Dengan kata lain kita hanya mementingkan sisi formalitasnya saja tanpa
menerapkan sisi spiritualnya. Tujuan akhir dari transformasi ajaran moral agama
Islam ini adalah praktik sosial dalam masyarakat,
Makalah
ini juga membahas tentang etika sosial dalam Islam yang berhubungan dengan
moral dan kemanusiaan. Apalagi, tema tentang Etika dan Moral menjadi bahasan
penting dalam wacana pemikiran filsafat kontemporer.
1.2 Rumusan
Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas
dalam makalah ini di antaranya ialah sebagai berikut:
1.
Apa pengertian Islam?
2.
Bagaimanakah karakteristik etika Islam?
3.
Apa pengertian moral?
4. Bagaimana konsep moralitas
dalam berbagai aliran hukum?
5. Bagaimana penyerapan
moralitas ke dalam hukum Islam?
6. Apa saja nilai nilai yang terkandung dalam moral
keislaman?
7.
Bagaimana hubungan antara Islam dan
moral?
1.3 Tujuan
Pembahasan
Adapun
tujuan isi dari makalah yang kami buat ialah:
1.
Untuk mengetahui pengertian Islam.
2.
Untuk mengetahui karakteristik etika Islam.
3.
Untuk mengetahui pengetian moral.
4. Untuk mengetahui moralitas dalam berbagai
aliran hukum.
5. Untuk mengetahui penyerapan moralitas ke
dalam hukum Islam.
6. Untuk
mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam moral keislaman.
7.
Untuk mengetahui hubungan antara Islam
dan moral.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Islam
Secara
etimologis kata Islam diturunkan dari akar yang sama dengan kata salām yang berarti “damai”. Kata
‘Muslim’ (sebutan bagi pemeluk agama Islam) juga berhubungan dengan kata Islām,
kata tersebut berarti “orang yang berserah diri kepada Allah” dalam bahasa
Indonesia. Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Islam
memiliki arti “penyerahan”, atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan (Allah
SWT). Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti “seorang
yang tunduk kepada Tuhan”, atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki
dan Muslimat bagi perempuan.[1]
Disini
ditegaskan bahwa Islam bukanlah agama tapi Islam adalah dien. Agama atau Ugama berasalah dari bahasa sansakerta yang
berarti “tidak kacau”. “A” artinya Tidak “Gama” artinya Kacau, jika disatukan
menjadi sebuah kalimat maka Agama mempunyai arti “Tidak Kacau”. Maka
bekembanglah dengan istilah itu menjadi suatu kelembagaan seperti “Departemen
Agama (Departemen Tidak Kacau)”, berkembang pula dengan istilah “Kerukunan
antar umat beragama (kerukunan antar umat tidak kacau)”. Dalam bahasa inggris
disebut religion dari bahasa latin religere,
yang artinya memelihara diri. Istilah Agama atau Religion dipandang sebagai
hubungan manusia dengan Tuhan yang menyangkut kepercayaan dan peribadatan,
ajaran dan turunan, moral dan etika, sehingga manusia tidak mengalami kekacauan.
Jika Agama didefinisikan sebagai bagian atau pelengkap aspek kehidupan asat
aspek hidup yang lainnya, maka islam bukanlah agama, islam adalah dien (sistem
/ tatanan hidup).
B. Karakteristik Etika Islam
Karakter
(khuluk) merupakan suatu keadaan jiwa dimana jiwa bertindak
tanpa di pikir atau di pertimbangkan secara mendalam. Karakter ini ada 2 jenis,
yakni:
1.
Alamiah dan
bertolak dari watak.
Misalnya pada orang yang gampang sekali marah
karena hal paling kecil atau takut menghadapi insiden yang paling
sepele. Juga pada orang yang terkesiap berdebar-debar di sebabkan suara yang
amat lemah yang menerpa gendang telinganya atau ketakutan lantaran
mendengar suata berita atau tertawa berlebih-lebihan hanya karena suatu
hal yang amat sangat biasa yang telah membuatnya kagum, atau sedih sekali cuma
karena suatu hal yang tak terlalu memprihatinkan yang telah menimpanya.
2.
Tercipta melalui
kebiasaan dan latihan.
Pada mulanya keadaan ini terjadi karena di
pertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian melalui praktek terus-menerus
menjadi karakter. Karenanya para cendikiawan klasik sering berbeda pendapat
mengenai karakter. Sebagian berpendapat bahwa karakter di miliki oleh jiwa yang
tidak berpikir (nonrasional). Sementara yang lain berkata bahwa bisa juga
karakter itu milik jiwa yang berpikir (rasional). Ada yang berpendapat bahwa
karakter itu alami sifatnya, dan juga dapat berubah cepat atau lamban melalui
disiplin serta nasihat-nasihat yang mulia. Pendapat yang terakhir inilah yang
kami dukung karena sudah kami kaji secara langsung. Adapun pendapat pertama
akan menyababkan tidak berlakunya fakultas nalar, tertolaknya segala bentuk
norma dan bimbingan, tunduknya (kecendrungan) orang kepada kekejaman dan
kelalaian, serta banyak remaja dan anak berkembang liar tanpa nasihat dan
pendidikan. Ini tentu saja sangat negatif.
Didalam
islam, etika yang diajarkan dalam islam berbeda dengan etika filsafat. Etika
Islam memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.
Etika Islam
mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan
diri dari tingkah laku yang buruk.
2.
Etika Islam
menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik dan buruknya perbuatan
seseorang didasarkan kepada al-Qur’an dan al-Hadits yang shohih.
3.
Etika Islam
bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima dan dijadikan pedoman oleh
seluruh umat manusia kapanpun dan dimanapun mereka berada.
4.
Etika Islam
mengatur dan mengarahkan fitrah manusia kejenjang akhlak yang luhur dan mulia
serta meluruskan perbuatan manusia sebagai upaya memanusiakan manusia.
C. Pengertian Moral
Kata “moral” berarti kesusilaan atau
budi pekerti.[2] W.J.S.
Poerwadarminta mengatakan bahwa moral adalah “ajaran tentang baik buruk
perbuatan dan kelakuan”.[3]
Ada padanan kata itu dalam Islam yaitu al-akhlaq atau al-adab.
Menurut al-Ghazali: “akhlak merupakan tabiat jiwa, yang dapat dengan mudah
melahirkan perbuatan-perbuatan dengan perwatakan tertentu secara serta merta
tanpa pemikiran dan pertimbangan. Apabila tabiat tersebut melahirkan perbuatan
baik dan terpuji menurut akal dan agama, tabiat tersebut dinamakan akhlak yang
baik. Apabila melahirkan perbuatan-perbuatan yang jelek, maka tabiat tersebut
dinamakan akhlak yang jelek.”[4]
Etika
pada umumnya diidentikkan dengan moral (moralitas). Sedang padanan kata etika
dalam bahasa Arab adalah al-adab. Umat Islam biasanya menyamakan saja
antara etika, moral dan akhlak. Kesemuanya memiliki kesamaan, yakni berhubungan
dengan nilai baik dan buruk dari tindakan manusia, namun masing-masing memiliki
perbedaan dalam pengertian. Secara singkat, jika moral lebih condong kepada
pengertian nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri, maka
etika berarti ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk. Jadi bisa dikatakan
bahwa etika berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk, sedangkan moral
adalah praktiknya.[5]
Pada dasarnya nilai-nilai moral itu
telah tertanam pada diri manusia sebagai kewajiban (kategoris-imperatif).
Kecenderungan untuk berbuat baik misalnya, sebenarnya telah ada pada diri
manusia. Manusia pada intinya hanya menunaikan kecenderungan diri dalam setiap
perbuatannya.[6] Ukuran
perseorangan untuk baik dan buruk, bagus dan jelek berbeda menurut perbedaan
persepsi seseorang, perbedaan masa, dan perubahan keadaan dan tempat.
Namun, dalam setiap masyarakat dalam
suatu masa ada ukuran umum, artinya ada ukuran yang diakui oleh seluruh atau
sebagian besar dari anggotanya. Ukuran umum itu mungkin berbeda dari suatu
masyarakat dengan masyarakat lain, tetapi dari pokok-pokok tertentu yang ada
persamaannya antara semua manusia dalam menilai baik dan buruk. Bagi umat Islam
pendasaran baik dan buruk bagi perbuatan adalah al-Qur’an dan al-Hadis. Apa
yang dinyatakan baik oleh kedua sumber itu, maka itulah ukuran kebaikan, dan
demikian pula sebaliknya.[7]
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik
kesimpulan bahwa etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem
tata nilai suatu masyarakat tertentu, sedangkan moral adalah perilaku yang
sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum di terima, meliputi
kesatuan sosial/lingkungan tertentu. Sedangkan akhlak adalah ilmu yang
menentukan batas antara baik dan buruk tentang perkataan/perbuatan manusia
lahir dan batin.
D.
Konsep Moralitas dalam Berbagai Aliran Hukum
Pembahasan tentang hubungan antara hukum
dengan moral adalah salah satu topik penting dalam kajian filsafat hukum. Dalam
kajian hukum Barat, antara hukum dan moral memang mempunyai kaitan erat, tetapi
hukum tidak sama dengan moralitas. Hukum mengikat semua orang sebagai warga
negara, tetapi moralitas hanya mengikat orang sebagai individu.[8]
Dikatakan dalam teori pemisahan antara hukum dan moralitas bahwa hukum adalah
suatu hal dan moralitas adalah hal lain, atau dengan kata lain: “hukum dan
moralitas tidak selalu sisi lain dari mata uang yang sama”. Ini tidak berarti
bahwa hakim atau jaksa hanya memberikan perhatian terhadap hukum dan tidak
memberikan perhatian terhadap moralitas. Sebenarnya hukum yang baik berasal
dari moralitas yang baik, dan moralitas yang baik melahirkan hukum yang baik
pula.[9]
Hazairin
dalam buku Demokrasi Pancasila menyatakan bahwa hukum tanpa moral adalah
kezaliman, moral tanpa hukum adalah anarki dan utopia yang menjurus pada
kebinatangan. Hanya hukum yang dipeluk oleh kesusilaan dan berakar pada
kesusilaan yang dapat mendirikan kemanusiaan.[10]
Menurut Muslehuddin, hukum tanpa keadilan dan moralitas bukanlah hukum dan
tidak bisa bertahan lama. Sistem hukum yang tidak memiliki akar substansial
pada keadilan dan moralitas pada akhirnya akan terpental. Sedangkan menurut
Rasjidi, hukum dan moral harus berdampingan, karena moral adalah pokok dari
hukum.[11]
Penganut
faham positivisme menolak pengetahuan normatif tentang etika dan menganggap
etika tidak termasuk dalam kategori ilmiah. Aliran ini menganggap bahwa antara
hukum dan etika mempunyai bidang sendiri-sendiri yang tidak berhubungan antara
satu dengan lainnya.[12] Menurut
hukum murni ala Kelsen, etika dan filsafat sosial jauh dari hukum. Ia menentang
filsafat dan berkeinginan untuk menciptakan ilmu hukum murni, meninggalkan
semua materi yang tidak relevan, dan memisahkan yurisprudensi dari ilmu-ilmu
sosial.[13]
Sedangkan
aliran imperatif Austin menganggap hukum sebagai perintah penguasa. Menurutnya,
hukum positif adalah suatu aturan umum tentang tingkah laku yang ditentukan
oleh petinggi politik untuk kelompok yang lebih rendah. Tujuan Austin adalah
untuk memisahkan secara tajam hukum positif dari aturan-aturan sosial semisal
kebiasaan dan moralitas, dan penekanannya terletak pada perintah mencapai
tujuan tertentu. Konsep perintah secara tidak langsung menyatakan ancaman bagi
pelaksanaan sanksi jika perintah itu tidak dipatuhi.[14]
Pada
masyarakat yang masih sederhana, norma susila atau moral telah memadai untuk
menciptakan ketertiban dan mengarahkan tingkah laku masyarakat, dan menegakkan
kesejahteraan dalam masyarakat. Kesusilaan memberikan peraturan kepada
seseorang supaya menjadi manusia yang sempurna. Hasil dari perintah dan
larangan yang timbul dari norma kesusilaan itu berdasarkan pada kebebasan
pribadi seseorang. Hati nuraninya akan menentukan apakah ia akan melakukan
sesuatu perbuatan.[15]
Sedangkan pada masyarakat yang sudah maju adat tersebut tidak lagi mencukupi.
Ini karena moral adalah kebebasan pribadi dan cara berfikir setiap orang
tidaklah sama, sifat dan tingkah lakunya pun berbeda, sehingga banyak sekali
usaha baik yang mendapat tantangan dan hambatan. Untuk mengatur segalanya
diperlukan aturan lain yang tidak didasarkan pada kebebasan pribadi, tetapi
juga mengekang kebebasan pribadi dalam bentuk paksaan, ancaman dan sanksi.
Aturan itulah yang disebut hukum.[16]
Jika
dalam kesusilaan yang dimuat adalah anjuran yang berupa pujian dan celaan, maka
dalam kaidah hukum yang dimuat adalah perintah dan larangan yang diperkuat
dengan ancaman, paksaan atau sanksi bagi orang yang mengabaikan. Meskipun
coraknya berbeda, namun bentuk-bentuk yang dipuji dan dicela dalam kesusilaan,
sehingga pada hakikatnya patokan hukum tersebut berurat pada kesusilaan. Adanya
unsur ancaman dan paksaan dalam hukum tersebut menyebabkan timbulnya berbagai
kemungkinan untuk memberi bentuk pada unsur itu. Masyarakat yang satu akan
memberi bentuk yang berbeda dengan masyarakat yang lain. Dikatakan bahwa setiap
tatanan sosial akan mencari cara-cara dan jalannya sendiri yang cocok untuk
memaksa anggota-anggota masyarakat berbuat seperti yang dikehendakinya.[17]
Kehendak
untuk berbuat baik terhadap sesama manusia bermuara pada suatu pergaulan antara
pribadi yang berdasarkan prinsip-prinsip rasional dan moral. Tetapi kehendak
yang sama mendorong orang-orang juga untuk membuat suatu aturan hidup bersama
yang sesuai dengan prinsip-prinsip moral tersebut. Hal ini dilaksanakan dengan
membentuk suatu sistem norma yang harus ditaati masyarakat tertentu. Kehendak
untuk mengatur hidup menghasilkan tiga macam norma:
1.
Norma moral yang mewajibkan tiap-tiap orang
secara batiniah.
2.
Norma-norma masyarakat, atau norma-norma
sopan santun yang mengatur pergaulan secara umum.
3.
Norma hukum, yang menentukan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban.
Norma moral
bersifat subjektif, sebab berkaitan dengan suara hati subjek, lagi menuntut
untuk sungguh-sungguh ditaati. Norma sopan santun bersifat objektif, karena
berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan, tidak menuntut, hanya mengundang
saja. Norma hukum bersifat objektif, karena kaitannya dengan negara, tetapi
menuntut untuk ditaati.[18]
Uraian Kant
ini dapat dilengkapi dengan uraian A. Reinach (1883-1917) sebagai berikut:[19]
- Norma moral mengenai suara hati pribadi manusia, norma yuridis berlaku atas dasar suatu perjanjian.
- Hak-hak moral tidak pernah hilang dan tidak dapat pindah kepada orang lain, sedangkan hak yuridis dapat hilang dan berpindah (sesuai dengan perjanjian).
- Norma moral mengatur baik batin maupun hidup lahir, sedangkan norma hukum hanya mengatur kehidupan lahiriah saja (de internis praetor non iudicat).
E.
Penyerapan Moralitas ke dalam Hukum Islam
Seringkali
agama dipahami hanya menyangkut masalah spiritual, sehingga muncul anggapan
bahwa agama dan hukum tidak sejalan. Adanya hukum adalah untuk memenuhi
kebutuhan sosial dan karenanya mengabdi kepada masyarakat, sedangkan agama
adalah untuk mengontrol masyarakat dan mengekangnya agar tidak menyimpang dari
norma-norma etika yang ditentukannya. Agama menekankan moralitas, perbedaan
antara benar dan salah, baik dan buruk, sedangkan hukum duniawi menfokuskan
diri pada kesejahteraan material dan kurang jelas hubungannya dengan moralitas.[20]
Di
dalam Islam, moralitas yang berasal dari agama adalah bagian integral dari
manusia. Manusia mungkin dapat menetapkan moralitasnya sendiri tanpa agama,
tetapi dengan mudah ia akan menggunakannya untuk kepentingannya sendiri
sehingga ukuran moral dapat berubah-ubah. Moralitas agama tidak demikian, ia
berasal dari Tuhan, berhubungan dengan akal sehat, hati nurani dan keyakinan kepada
Allah. Karena itu, integritas yang baik tidak mungkin diharapkan di luar agama.[21]
Dalam
masyarakat Islam, hukum bukan hanya faktor utama, tetapi juga faktor pokok yang
memberikannya bentuk. Masyarakat Islam secara ideal harus sesuai dengan kitab
hukum, sehingga tidak ada perubahan sosial yang mengacaukan atau menimbulkan
karakter tak bermoral dalam masyarakat. Hukum Islam harus berjalan sesuai
dengan prinsip-prinsip moralitas seperti yang dinyatakan oleh Islam. Syari’at
Islam merupakan kode hukum dan sekaligus kode moral. Ia merupakan pola yang
luas tentang tingkah laku manusia yang berasal dari otoritas kehendak Allah,
sehingga garis pemisah antara hukum dan moralitas sama sekali tidak bisa
ditarik secara jelas.[22]
Islam
peduli pada regulasi keuntungan ekonomi yang bermoral. Sebaliknya, kreditur
supaya memberi kelonggaran waktu (tanpa memungut bunga) kepada debitur yang
mengalami kesulitan untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah
dijanjikan. Jika debitur sungguh-sungguh tidak mampu lagi untuk melunasi
hutangnya, bahkan kreditur dianjurkan supaya menyedekahkannya.[23]
Semua
ketentuan dari Al-Qur’an maupun hadits tersebut secara serta merta masuk
menjadi materi dalam fiqh, yang juga sering disebut sebagai hukum Islam.
Proses masuk itu berjalan dengan tanpa pertentangan di kalangan kaum muslimin,
bahwa materi-materi moralitas memang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari
hukum Islam. Materi-materi moralitas yang berasal dari Al-Qur’an dan hadits itu
diperlakukan sama dengan perlakuan atas materi-materi lain. Sebagaimana
diketahui, para ahli usul al-fiqh telah mengembangkan metode inferensi
terhadap sumber-sumber wahyu. Metode ini dimaksudkan untuk diberlakukan secara
konsisten dan universal, untuk menafsirkan semua hal yang disebut sumber wahyu.
Secara substantif, tidak ada perbedaan metode untuk menghadapi ayat-ayat maupun
hadis tentang hukum atau tentang materi yang lain.
Hukum
tak lain adalah produk dari sumber dan metodenya, dan hukum Islam bukanlah
perkecualian dalam hal ini. Teori ini tampaknya cocok untuk melihat realitas
dari fiqh yang jelas-jelas menjadikan materi moralitas sebagai bahan
hukum. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sumber wahyu yang menjadi sumber
utamanya memang dengan jelas menegakkan moralitas lewat norma hukum. Sementara
itu, sumber-sumber wahyu ini ditafsirkan dengan berbagai metode yang semuanya
memiliki paradigma yang sama dengan ilmu-ilmu Islam metodologis lainnya, yaitu
paradigma keunggulan wahyu di atas akal. Dengan demikian, maka secara
epistemologis, metode ini hanyalah mengabdi kepada wahyu yang dipercayai
sebagai manifestasi dari kehendak Ilahi, puncak segala kebenaran.
Dengan
meletakkan norma-norma moralitas khusus, hukum Allah meletakkan aturan-aturan
universal bagi perbuatan manusia. Karena ada ukuran yang asli pada moral Islam
itulah, maka pergeseran dalam moral masyarakat Islam mempunyai lapangan yang
sempit. Artinya, pertumbuhan yang menyimpang dari alur-alur yang semula dikira
baik atau jelek kemudian melenceng sedemikian rupa sedikit sekali
kemungkinannya. Bukan hanya itu, hukum Islam memiliki jangkauan paling jauh dan
alat efektif dalam membentuk tatanan sosial dan kehidupan masyarakat Islam.
Otoritas moral hukum (Islam) membentuk struktur sosial Islam yang rapi dan aman
melalui semua fluktuasi keberuntungan politis. Hukum Islam memiliki norma-norma
baik dan buruk, kejahatan dan kebajikan, yang masyarakat secara ideal harus
menyesuaikan diri dengannya. Oleh karena itu, hukum Islam mempengaruhi semua
aspek kehidupan sosial, ekonomi dan semua aspek sosial lainnya.
F.
Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Moral Keislaman
Butir-butir
etika Islam yang dapat diidentifkasikan, antara lain:[24]
1.
Tuhan
merupakan sumber hukum dan sumber moral. Kedua hal tersebut disampaikan berupa
wahyu melalui para Nabi dan para Rasul, dikodifikasikan ke dalam kitab-kitab
suci Allah.
2.
Sesuatu
perbuatan adalah baik apabila sesuai dengan perintah Allah, serta didasari atas
niat baik.
3.
Kebaikan
adalah keindahan ahklak, sedangkan tanda-tanda dosa adalah perasaan tidak enak,
serta merasa tidak senang apabila perbuatanya diketahui orang banyak.
4.
Prikemanusiaan
hendaknya berlaku bagi siapa saja, dimana saja, kapan saja, bahkan dalam perang
.
5.
Anak
wajib berbakti kepada orang tuanya (Musnamar, 1986: 89-93).
Lima
Nilai Moral Islam
dikenal pula sebagai Sepuluh Perintah Tuhan versi Islam.
Perintah-perintah ini tercantum dalam Al-Qur'an
surat Al-An'aam 6:150-153 di mana Allah menyebutnya sebagai Jalan yang Lurus
(Shirathal Mustaqim):[25]
Tauhid
(Nilai
Pembebasan)
1.
Katakanlah: "Bawalah ke mari saksi-saksi
kamu yang dapat mempersaksikan bahwasanya Allah telah mengharamkan yang kamu
haramkan ini." Jika mereka mempersaksikan, maka janganlah kamu ikut (pula)
menjadi saksi bersama mereka; dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman
kepada kehidupan akhirat, sedang mereka mempersekutukan Tuhan mereka.
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu,
yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
Nikah
(Nilai
Keluarga)
2.
Berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu
bapa, dan
3.
Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu
karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka;
dan
4.
Janganlah kamu mendekati
perbuatan-perbuatan yang keji (homoseks, seks bebas dan incest), baik yang
nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan hayat (nilai kemanusiaan)
5.
Janganlah kamu membunuh jiwa yang
diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang
benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu
memahami (nya).
Adil
(Nilai
Keadilan)
6.
Dan janganlah kamu dekati harta anak
yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.
7.
Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan
dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar
kesanggupannya.
8.
Dan apabila kamu bersaksi, maka
hendaklah kamu berlaku adil kendati pun dia adalah kerabat (mu), dan
Amanah
(Nilai
Kejujuran)
9.
Penuhilah janji Allah. Yang demikian itu
diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat,
10. Dan
bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu
mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan
kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu
bertakwa.
G.
Hubungan antara Islam dan Moral
Apabila etika dan moral dihubungkan maka
dapat dikatakan bahwa antara etika dan moral memiliki obyek yang sama yaitu
sama-sama membahas tentang perbuatan manusia untuk selanjutnya di tentukan
posisinya baik atau buruk. Tolak ukur yang di gunakan dalam moral untuk
mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan, dan lainnya yang
berlaku dimasyarakat.
Menurut
Ibnu Arabi hati manusia itu bisa baik dan buruk, karena di dalam diri manusia
terdapat 3 nafsu:[26]
1.
Syahwaniyah
Nafsu
ini ada pada diri manusia dan binatang yaitu nafsu pada kelezatan
(makanan,minuman) dan syahwat jasmani. Apabila manusia tidak mengendalikan
nafsu ini maka manusia tidak ada bedanya dengan binatang.
2.
Al-Ghadabiyah
Nafsu
ini juga ada pada diri manusia dan binatang , cenderung pada marah, merusak,
ambisi dan senang menguasai dan mengalahkan orang lain serta lebih kuat di
banding dengan syahwaniyah dan berbahaya jika tidak dikendalikan.
3.
Al-Nathiqah
Nafsu
yang membedakan manusia dengan binatang. Nafsu ini mampu membuat berzikir,
mengambil hikmah, memahami fenomena alam dan manusia menjadi agung, besar
cita-citanya, kagum terhadap dirinya hingga bersyukur kepada Allah. Yang
menjadikan manusia dapat mengendalikan 2 nafsu di atas dan membedakan mana yang
baik dan mana yang buruk
Adapun
manfaat hubungan antara Islam, moral,
dan etika dalam kehidupan sehari-hari ialah sebagai berikut:
a.
Menjadikan insan yang lebih taqwa kepada
Allah.
- Dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
- Memperbaiki tingkah laku manusia untuk menjadi pribadi yang baik.
- Mengetahui dampak positif hidup rukun dalam kehidupan.
- Memahami pentingnya arti persatuan di dalam kehudipan.
- Menumbuhkan kesadaran pribadi untuk membentuk nuansa kebersamaan dalam kehidupan sosial.
- Dapat berperilaku mahmudah yaitu berakhlak terpuji dan mampu mennghindari akhlak madzmumah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan
penjelasan di atas saya disimpulkan bahwa etika merupakan suatu pola perilaku
yang dihasilkan oleh akal manusia dan suatu paham keilmuan yang berguna untuk
menentukan pakah perbuatan manusia itu dikatakan baik atau buruk berdasarkan
pendapat akal pikiran. Definisi moral merupakan nilai-nilai dan norma-norma
yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah
lakunya
Keterkaitan Etika Moral dan Akhlak
sangatlah penting bagi kehidupan sehari hari dan Kesemuanya itu juga dapat
menjadi pedoman bagi kita untuk mengevaluasi keadaan di sekitar kita serta kita
dapat dengan mudah memfilterisasi segala sesuatu yang kita dapatkan, agar kita
menjadi pribadi yang ber-etika, moral, dan akhlak yang baik.
3.2 Saran
Sebagai
penutup dalam pembahasan makalah ini, kami sadar bahwasannya masih terdapat
kekurangan baik dalam segi pembahasan maupun sistematika pembuatannya. Maka
dari itu penulis mengharapkan akan adanya sebuah saran dari pembaca yang mana
dengan saran tersebut insya Allah aan kami jadikan motivasi yang membangun
dalam penyempurnaan makalah selanjutnya.
[1]https://enjanglife.wordpress.com/2011/11/22/islam-dan-moral/
diakses hari Sabtu tanggal 27 Desember 2014 pukul 04:46 WIB
[2]Fathurahman
Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm.
145
[3]Ahmad Mansur
Noor, Peranan Moral Dalam Membina Kesadaran Hukum, (Jakarta: Dirjen
Bimbaga Islam DEPAG RI, 1985), hlm. 7
[4]Al-Ghazali, Abu
Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya ‘Ulum al-Din, Vol. III (Kairo: Dar al
Hadith, 1994), hlm. 86
[5]Abi Bakr Jabir
al-Jaziri, Minhaj al-Muslim, (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-’Ulum
wa al-H, t.th), hlm. 127
[6]Amin Abdullah, Filsafat
Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 17
[7]Fathurahman Djamil, op.cit, hlm. 148
[8]Rifyal
Ka’bah, Menegakkan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: Khairul Bayan,
2004), hlm.142
[10]Ahmad
Mansur Noor, Peranan Moral dalam Membina Kesadaran Hukum, (Jakarta:
Binbaga Islam DEPAG RI, 1985), hlm. 31
[11]Fathurahman
Djamil, op.cit, hlm. 151
[12]Muhammad Muslehuddin, Philosophy
of Islamic Law and the Orientalists, (Delhi: Markazi Maktaba Islami,
1985), hlm. 34
[13]Bakri Siregar, Pengantar
Filsafat Hukum, terj, (Jakarta: Erlangga, 1984), hlm. 22-23
[14]Fathurahman Djamil, op.cit, hlm. 152
[15]C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu
Hukum, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm.56
[16]Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 27-28
[18]Theo Huijbers, Filsafat Hukum,
(Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 64-65
[19]Theo Huijbers, Filsafat Hukum
Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 231-234
[20]Muhammad
Muslehuddin, op.cit, hlm. 19
[21]Rifyal
Ka’bah, op.cit, hlm. 146
[22]Fathurahman
Djamil, op.cit, hlm. 154
[23]Ahmad
Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman, (Bandung: Mizan, 1994),
hlm. 137-138
[24]http://adf.ly/5485052/int/http://andicvantastic.blogspot.com/2013/11/pengertian-keterkaitan-etikamoralakhlak.html
diakses hari Sabtu tanggal 27 Desember 2014 pukul 05:18 WIB
[25]Ibid.,
[26]Ibid.,
0 komentar:
Posting Komentar