• adam
  • Minggu, 15 Maret 2015

    MAKALAH PENGANTAR STUDI ISLAM

    BAB I
    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang Masalah
    Islam adalah Agama yang hadir di muka bumi ini untuk menyampaikan ajaran-ajaran tentang kemanusiaan dan keadilan bagi seluruh umat manusia. Ajaran-ajaran Islam perlu dipahami melalui jalan yang praktis karena fungsi agama ini adalah untuk memberikan solusi-solusi yang terbaik atas segala problema sosial yang ada dalam masyarakat. Di era global yang semakin maju ini perilaku seorang muslim semakin beraneka ragam. Manusia cenderung mengikuti pola hidup yang mewah dan bergaya, mereka bahkan lupa dengan adanya etika, moral dan akhlak yang membatasi perilaku mereka. Di zaman sekarang ini akidah-akidah islam seperti itu tidak terlalu dihiraukan dan dijadikan pedoman dalam hidup. Karena pada kenyataannya manusia sekarang kurang pengetahuan tentang etika, moral, dan akhlak.
    Berangkat dari kenyataan di atas, melalui tulisan ini kami mengajak kita semua untuk kembali memahami dengan seksama pesan-pesan inti agama, yaitu pesan moral, dan kemudian menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik secara individu maupun sosial. Dengan kata lain kita hanya mementingkan sisi formalitasnya saja tanpa menerapkan sisi spiritualnya. Tujuan akhir dari transformasi ajaran moral agama Islam ini adalah praktik sosial dalam masyarakat,
    Makalah ini juga membahas tentang etika sosial dalam Islam yang berhubungan dengan moral dan kemanusiaan. Apalagi, tema tentang Etika dan Moral menjadi bahasan penting dalam wacana pemikiran filsafat kontemporer.
    1.2 Rumusan Masalah
    Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini di antaranya ialah sebagai berikut:
    1.    Apa pengertian Islam?
    2.    Bagaimanakah karakteristik etika Islam?
    3.    Apa pengertian moral?
    4.    Bagaimana konsep moralitas dalam berbagai aliran hukum?
    5.    Bagaimana penyerapan moralitas ke dalam hukum Islam?
    6.    Apa saja nilai nilai yang terkandung dalam moral keislaman?
    7.    Bagaimana hubungan antara Islam dan moral?

    1.3  Tujuan Pembahasan
    Adapun tujuan isi dari makalah yang kami buat ialah:
    1.      Untuk mengetahui pengertian Islam.
    2.      Untuk mengetahui karakteristik etika Islam.
    3.      Untuk mengetahui pengetian moral.
    4.      Untuk mengetahui moralitas dalam berbagai aliran hukum.
    5.      Untuk mengetahui penyerapan moralitas ke dalam hukum Islam.
    6.      Untuk mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam moral keislaman.
    7.      Untuk mengetahui hubungan antara Islam dan moral.










    BAB II
    PEMBAHASAN

    A.      Pengertian Islam
    Secara etimologis kata Islam diturunkan dari akar yang sama dengan kata salām yang berarti “damai”. Kata ‘Muslim’ (sebutan bagi pemeluk agama Islam) juga berhubungan dengan kata Islām, kata tersebut berarti “orang yang berserah diri kepada Allah” dalam bahasa Indonesia. Islam adalah agama yang mengimani satu Tuhan, yaitu Allah SWT. Islam memiliki arti “penyerahan”, atau penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan (Allah SWT). Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim yang berarti “seorang yang tunduk kepada Tuhan”, atau lebih lengkapnya adalah Muslimin bagi laki-laki dan Muslimat bagi perempuan.[1]
    Disini ditegaskan bahwa Islam bukanlah agama tapi Islam adalah dien. Agama atau Ugama berasalah dari bahasa sansakerta yang berarti “tidak kacau”. “A” artinya Tidak “Gama” artinya Kacau, jika disatukan menjadi sebuah kalimat maka Agama mempunyai arti “Tidak Kacau”. Maka bekembanglah dengan istilah itu menjadi suatu kelembagaan seperti “Departemen Agama (Departemen Tidak Kacau)”, berkembang pula dengan istilah “Kerukunan antar umat beragama (kerukunan antar umat tidak kacau)”. Dalam bahasa inggris disebut religion dari bahasa latin religere, yang artinya memelihara diri. Istilah Agama atau Religion dipandang sebagai hubungan manusia dengan Tuhan yang menyangkut kepercayaan dan peribadatan, ajaran dan turunan, moral dan etika, sehingga manusia tidak mengalami kekacauan. Jika Agama didefinisikan sebagai bagian atau pelengkap aspek kehidupan asat aspek hidup yang lainnya, maka islam bukanlah agama, islam adalah dien (sistem / tatanan hidup).



    B.       Karakteristik Etika Islam
    Karakter (khuluk) merupakan suatu keadaan jiwa dimana  jiwa bertindak tanpa di pikir atau di pertimbangkan secara mendalam. Karakter ini ada 2 jenis, yakni:
    1.       Alamiah dan bertolak dari watak.
    Misalnya pada orang yang gampang sekali marah karena  hal paling kecil atau takut menghadapi insiden yang paling  sepele. Juga pada orang yang terkesiap berdebar-debar di sebabkan suara yang amat lemah yang menerpa gendang telinganya atau ketakutan lantaran mendengar  suata berita atau tertawa berlebih-lebihan hanya karena suatu hal yang amat sangat biasa yang telah membuatnya kagum, atau sedih sekali cuma karena suatu hal yang tak terlalu memprihatinkan yang telah menimpanya.
    2.       Tercipta melalui kebiasaan dan latihan.
    Pada mulanya keadaan ini terjadi karena di pertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian melalui praktek terus-menerus menjadi karakter. Karenanya para cendikiawan klasik sering berbeda pendapat mengenai karakter. Sebagian berpendapat bahwa karakter di miliki oleh jiwa yang tidak berpikir (nonrasional). Sementara yang lain berkata bahwa bisa juga karakter itu milik jiwa yang berpikir (rasional). Ada yang berpendapat bahwa karakter itu alami sifatnya, dan juga dapat berubah cepat atau lamban melalui disiplin serta nasihat-nasihat yang mulia. Pendapat yang terakhir inilah yang kami dukung karena sudah kami kaji secara langsung. Adapun pendapat pertama akan menyababkan tidak berlakunya fakultas nalar, tertolaknya segala bentuk norma dan bimbingan, tunduknya (kecendrungan) orang kepada kekejaman dan kelalaian, serta banyak remaja dan anak berkembang liar tanpa nasihat dan pendidikan. Ini tentu saja sangat negatif.
    Didalam islam, etika yang diajarkan dalam islam berbeda dengan etika filsafat. Etika Islam memiliki karakteristik sebagai berikut:
    1.         Etika Islam mengajarkan dan menuntun manusia kepada tingkah laku yang baik dan menjauhkan diri dari tingkah laku yang buruk.
    2.         Etika Islam menetapkan bahwa yang menjadi sumber moral, ukuran baik dan buruknya perbuatan seseorang didasarkan kepada al-Qur’an dan al-Hadits yang shohih.
    3.         Etika Islam bersifat universal dan komprehensif, dapat diterima dan dijadikan pedoman oleh seluruh umat manusia kapanpun dan dimanapun mereka berada.
    4.         Etika Islam mengatur dan mengarahkan fitrah manusia kejenjang akhlak yang luhur dan mulia serta meluruskan perbuatan manusia sebagai upaya memanusiakan manusia.

    C.      Pengertian Moral
    Kata “moral” berarti kesusilaan atau budi pekerti.[2] W.J.S. Poerwadarminta mengatakan bahwa moral adalah “ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan”.[3] Ada padanan kata itu dalam Islam yaitu al-akhlaq atau al-adab. Menurut al-Ghazali: “akhlak merupakan tabiat jiwa, yang dapat dengan mudah melahirkan perbuatan-perbuatan dengan perwatakan tertentu secara serta merta tanpa pemikiran dan pertimbangan. Apabila tabiat tersebut melahirkan perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan agama, tabiat tersebut dinamakan akhlak yang baik. Apabila melahirkan perbuatan-perbuatan yang jelek, maka tabiat tersebut dinamakan akhlak yang jelek.”[4]
    Etika pada umumnya diidentikkan dengan moral (moralitas). Sedang padanan kata etika dalam bahasa Arab adalah al-adab. Umat Islam biasanya menyamakan saja antara etika, moral dan akhlak. Kesemuanya memiliki kesamaan, yakni berhubungan dengan nilai baik dan buruk dari tindakan manusia, namun masing-masing memiliki perbedaan dalam pengertian. Secara singkat, jika moral lebih condong kepada pengertian nilai baik dan buruk dari setiap perbuatan manusia itu sendiri, maka etika berarti ilmu yang mempelajari tentang baik dan buruk. Jadi bisa dikatakan bahwa etika berfungsi sebagai teori dari perbuatan baik dan buruk, sedangkan moral adalah praktiknya.[5]
    Pada dasarnya nilai-nilai moral itu telah tertanam pada diri manusia sebagai kewajiban (kategoris-imperatif). Kecenderungan untuk berbuat baik misalnya, sebenarnya telah ada pada diri manusia. Manusia pada intinya hanya menunaikan kecenderungan diri dalam setiap perbuatannya.[6] Ukuran perseorangan untuk baik dan buruk, bagus dan jelek berbeda menurut perbedaan persepsi seseorang, perbedaan masa, dan perubahan keadaan dan tempat.
    Namun, dalam setiap masyarakat dalam suatu masa ada ukuran umum, artinya ada ukuran yang diakui oleh seluruh atau sebagian besar dari anggotanya. Ukuran umum itu mungkin berbeda dari suatu masyarakat dengan masyarakat lain, tetapi dari pokok-pokok tertentu yang ada persamaannya antara semua manusia dalam menilai baik dan buruk. Bagi umat Islam pendasaran baik dan buruk bagi perbuatan adalah al-Qur’an dan al-Hadis. Apa yang dinyatakan baik oleh kedua sumber itu, maka itulah ukuran kebaikan, dan demikian pula sebaliknya.[7]
    Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa etika adalah sebuah tatanan perilaku berdasarkan suatu sistem tata nilai suatu masyarakat tertentu, sedangkan moral adalah perilaku yang sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum di terima, meliputi kesatuan sosial/lingkungan tertentu. Sedangkan akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk tentang perkataan/perbuatan manusia lahir dan batin.
    D.      Konsep Moralitas dalam Berbagai Aliran Hukum
    Pembahasan tentang hubungan antara hukum dengan moral adalah salah satu topik penting dalam kajian filsafat hukum. Dalam kajian hukum Barat, antara hukum dan moral memang mempunyai kaitan erat, tetapi hukum tidak sama dengan moralitas. Hukum mengikat semua orang sebagai warga negara, tetapi moralitas hanya mengikat orang sebagai individu.[8] Dikatakan dalam teori pemisahan antara hukum dan moralitas bahwa hukum adalah suatu hal dan moralitas adalah hal lain, atau dengan kata lain: “hukum dan moralitas tidak selalu sisi lain dari mata uang yang sama”. Ini tidak berarti bahwa hakim atau jaksa hanya memberikan perhatian terhadap hukum dan tidak memberikan perhatian terhadap moralitas. Sebenarnya hukum yang baik berasal dari moralitas yang baik, dan moralitas yang baik melahirkan hukum yang baik pula.[9]
    Hazairin dalam buku Demokrasi Pancasila menyatakan bahwa hukum tanpa moral adalah kezaliman, moral tanpa hukum adalah anarki dan utopia yang menjurus pada kebinatangan. Hanya hukum yang dipeluk oleh kesusilaan dan berakar pada kesusilaan yang dapat mendirikan kemanusiaan.[10] Menurut Muslehuddin, hukum tanpa keadilan dan moralitas bukanlah hukum dan tidak bisa bertahan lama. Sistem hukum yang tidak memiliki akar substansial pada keadilan dan moralitas pada akhirnya akan terpental. Sedangkan menurut Rasjidi, hukum dan moral harus berdampingan, karena moral adalah pokok dari hukum.[11]
    Penganut faham positivisme menolak pengetahuan normatif tentang etika dan menganggap etika tidak termasuk dalam kategori ilmiah. Aliran ini menganggap bahwa antara hukum dan etika mempunyai bidang sendiri-sendiri yang tidak berhubungan antara satu dengan lainnya.[12] Menurut hukum murni ala Kelsen, etika dan filsafat sosial jauh dari hukum. Ia menentang filsafat dan berkeinginan untuk menciptakan ilmu hukum murni, meninggalkan semua materi yang tidak relevan, dan memisahkan yurisprudensi dari ilmu-ilmu sosial.[13]
    Sedangkan aliran imperatif Austin menganggap hukum sebagai perintah penguasa. Menurutnya, hukum positif adalah suatu aturan umum tentang tingkah laku yang ditentukan oleh petinggi politik untuk kelompok yang lebih rendah. Tujuan Austin adalah untuk memisahkan secara tajam hukum positif dari aturan-aturan sosial semisal kebiasaan dan moralitas, dan penekanannya terletak pada perintah mencapai tujuan tertentu. Konsep perintah secara tidak langsung menyatakan ancaman bagi pelaksanaan sanksi jika perintah itu tidak dipatuhi.[14]
    Pada masyarakat yang masih sederhana, norma susila atau moral telah memadai untuk menciptakan ketertiban dan mengarahkan tingkah laku masyarakat, dan menegakkan kesejahteraan dalam masyarakat. Kesusilaan memberikan peraturan kepada seseorang supaya menjadi manusia yang sempurna. Hasil dari perintah dan larangan yang timbul dari norma kesusilaan itu berdasarkan pada kebebasan pribadi seseorang. Hati nuraninya akan menentukan apakah ia akan melakukan sesuatu perbuatan.[15] Sedangkan pada masyarakat yang sudah maju adat tersebut tidak lagi mencukupi. Ini karena moral adalah kebebasan pribadi dan cara berfikir setiap orang tidaklah sama, sifat dan tingkah lakunya pun berbeda, sehingga banyak sekali usaha baik yang mendapat tantangan dan hambatan. Untuk mengatur segalanya diperlukan aturan lain yang tidak didasarkan pada kebebasan pribadi, tetapi juga mengekang kebebasan pribadi dalam bentuk paksaan, ancaman dan sanksi. Aturan itulah yang disebut hukum.[16]
    Jika dalam kesusilaan yang dimuat adalah anjuran yang berupa pujian dan celaan, maka dalam kaidah hukum yang dimuat adalah perintah dan larangan yang diperkuat dengan ancaman, paksaan atau sanksi bagi orang yang mengabaikan. Meskipun coraknya berbeda, namun bentuk-bentuk yang dipuji dan dicela dalam kesusilaan, sehingga pada hakikatnya patokan hukum tersebut berurat pada kesusilaan. Adanya unsur ancaman dan paksaan dalam hukum tersebut menyebabkan timbulnya berbagai kemungkinan untuk memberi bentuk pada unsur itu. Masyarakat yang satu akan memberi bentuk yang berbeda dengan masyarakat yang lain. Dikatakan bahwa setiap tatanan sosial akan mencari cara-cara dan jalannya sendiri yang cocok untuk memaksa anggota-anggota masyarakat berbuat seperti yang dikehendakinya.[17]
    Kehendak untuk berbuat baik terhadap sesama manusia bermuara pada suatu pergaulan antara pribadi yang berdasarkan prinsip-prinsip rasional dan moral. Tetapi kehendak yang sama mendorong orang-orang juga untuk membuat suatu aturan hidup bersama yang sesuai dengan prinsip-prinsip moral tersebut. Hal ini dilaksanakan dengan membentuk suatu sistem norma yang harus ditaati masyarakat tertentu. Kehendak untuk mengatur hidup menghasilkan tiga macam norma:
    1.      Norma moral yang mewajibkan tiap-tiap orang secara batiniah.
    2.      Norma-norma masyarakat, atau norma-norma sopan santun yang mengatur pergaulan secara umum.
    3.      Norma hukum, yang menentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban.
    Norma moral bersifat subjektif, sebab berkaitan dengan suara hati subjek, lagi menuntut untuk sungguh-sungguh ditaati. Norma sopan santun bersifat objektif, karena berhubungan dengan masyarakat dan kebudayaan, tidak menuntut, hanya mengundang saja. Norma hukum bersifat objektif, karena kaitannya dengan negara, tetapi menuntut untuk ditaati.[18]
    Uraian Kant ini dapat dilengkapi dengan uraian A. Reinach (1883-1917) sebagai berikut:[19]
    1. Norma moral mengenai suara hati pribadi manusia, norma yuridis berlaku atas dasar suatu perjanjian.
    2. Hak-hak moral tidak pernah hilang dan tidak dapat pindah kepada orang lain, sedangkan hak yuridis dapat hilang dan berpindah (sesuai dengan perjanjian).
    3. Norma moral mengatur baik batin maupun hidup lahir, sedangkan norma hukum hanya mengatur kehidupan lahiriah saja (de internis praetor non iudicat).
    E.       Penyerapan Moralitas ke dalam Hukum Islam
    Seringkali agama dipahami hanya menyangkut masalah spiritual, sehingga muncul anggapan bahwa agama dan hukum tidak sejalan. Adanya hukum adalah untuk memenuhi kebutuhan sosial dan karenanya mengabdi kepada masyarakat, sedangkan agama adalah untuk mengontrol masyarakat dan mengekangnya agar tidak menyimpang dari norma-norma etika yang ditentukannya. Agama menekankan moralitas, perbedaan antara benar dan salah, baik dan buruk, sedangkan hukum duniawi menfokuskan diri pada kesejahteraan material dan kurang jelas hubungannya dengan moralitas.[20]
    Di dalam Islam, moralitas yang berasal dari agama adalah bagian integral dari manusia. Manusia mungkin dapat menetapkan moralitasnya sendiri tanpa agama, tetapi dengan mudah ia akan menggunakannya untuk kepentingannya sendiri sehingga ukuran moral dapat berubah-ubah. Moralitas agama tidak demikian, ia berasal dari Tuhan, berhubungan dengan akal sehat, hati nurani dan keyakinan kepada Allah. Karena itu, integritas yang baik tidak mungkin diharapkan di luar agama.[21]
    Dalam masyarakat Islam, hukum bukan hanya faktor utama, tetapi juga faktor pokok yang memberikannya bentuk. Masyarakat Islam secara ideal harus sesuai dengan kitab hukum, sehingga tidak ada perubahan sosial yang mengacaukan atau menimbulkan karakter tak bermoral dalam masyarakat. Hukum Islam harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip moralitas seperti yang dinyatakan oleh Islam. Syari’at Islam merupakan kode hukum dan sekaligus kode moral. Ia merupakan pola yang luas tentang tingkah laku manusia yang berasal dari otoritas kehendak Allah, sehingga garis pemisah antara hukum dan moralitas sama sekali tidak bisa ditarik secara jelas.[22]
    Islam peduli pada regulasi keuntungan ekonomi yang bermoral. Sebaliknya, kreditur supaya memberi kelonggaran waktu (tanpa memungut bunga) kepada debitur yang mengalami kesulitan untuk membayar kembali utangnya pada waktu yang telah dijanjikan. Jika debitur sungguh-sungguh tidak mampu lagi untuk melunasi hutangnya, bahkan kreditur dianjurkan supaya menyedekahkannya.[23]
    Semua ketentuan dari Al-Qur’an maupun hadits tersebut secara serta merta masuk menjadi materi dalam fiqh, yang juga sering disebut sebagai hukum Islam. Proses masuk itu berjalan dengan tanpa pertentangan di kalangan kaum muslimin, bahwa materi-materi moralitas memang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hukum Islam. Materi-materi moralitas yang berasal dari Al-Qur’an dan hadits itu diperlakukan sama dengan perlakuan atas materi-materi lain. Sebagaimana diketahui, para ahli usul al-fiqh telah mengembangkan metode inferensi terhadap sumber-sumber wahyu. Metode ini dimaksudkan untuk diberlakukan secara konsisten dan universal, untuk menafsirkan semua hal yang disebut sumber wahyu. Secara substantif, tidak ada perbedaan metode untuk menghadapi ayat-ayat maupun hadis tentang hukum atau tentang materi yang lain.
    Hukum tak lain adalah produk dari sumber dan metodenya, dan hukum Islam bukanlah perkecualian dalam hal ini. Teori ini tampaknya cocok untuk melihat realitas dari fiqh yang jelas-jelas menjadikan materi moralitas sebagai bahan hukum. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa sumber wahyu yang menjadi sumber utamanya memang dengan jelas menegakkan moralitas lewat norma hukum. Sementara itu, sumber-sumber wahyu ini ditafsirkan dengan berbagai metode yang semuanya memiliki paradigma yang sama dengan ilmu-ilmu Islam metodologis lainnya, yaitu paradigma keunggulan wahyu di atas akal. Dengan demikian, maka secara epistemologis, metode ini hanyalah mengabdi kepada wahyu yang dipercayai sebagai manifestasi dari kehendak Ilahi, puncak segala kebenaran.
    Dengan meletakkan norma-norma moralitas khusus, hukum Allah meletakkan aturan-aturan universal bagi perbuatan manusia. Karena ada ukuran yang asli pada moral Islam itulah, maka pergeseran dalam moral masyarakat Islam mempunyai lapangan yang sempit. Artinya, pertumbuhan yang menyimpang dari alur-alur yang semula dikira baik atau jelek kemudian melenceng sedemikian rupa sedikit sekali kemungkinannya. Bukan hanya itu, hukum Islam memiliki jangkauan paling jauh dan alat efektif dalam membentuk tatanan sosial dan kehidupan masyarakat Islam. Otoritas moral hukum (Islam) membentuk struktur sosial Islam yang rapi dan aman melalui semua fluktuasi keberuntungan politis. Hukum Islam memiliki norma-norma baik dan buruk, kejahatan dan kebajikan, yang masyarakat secara ideal harus menyesuaikan diri dengannya. Oleh karena itu, hukum Islam mempengaruhi semua aspek kehidupan sosial, ekonomi dan semua aspek sosial lainnya.

    F.       Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Moral Keislaman
    Butir-butir etika Islam yang dapat diidentifkasikan, antara lain:[24]
    1.         Tuhan merupakan sumber hukum dan sumber moral. Kedua hal tersebut disampaikan berupa wahyu melalui para Nabi dan para Rasul, dikodifikasikan ke dalam kitab-kitab suci Allah.
    2.         Sesuatu perbuatan adalah baik apabila sesuai dengan perintah Allah, serta didasari atas niat baik.
    3.         Kebaikan adalah keindahan ahklak, sedangkan tanda-tanda dosa adalah perasaan tidak enak, serta merasa tidak senang apabila perbuatanya diketahui orang banyak.
    4.         Prikemanusiaan hendaknya berlaku bagi siapa saja, dimana saja, kapan saja, bahkan dalam perang .
    5.         Anak wajib berbakti kepada orang tuanya (Musnamar, 1986: 89-93).
    Lima Nilai Moral Islam dikenal pula sebagai Sepuluh Perintah Tuhan versi Islam. Perintah-perintah ini tercantum dalam Al-Qur'an surat Al-An'aam 6:150-153 di mana Allah menyebutnya sebagai Jalan yang Lurus (Shirathal Mustaqim):[25]

    1.      Katakanlah: "Bawalah ke mari saksi-saksi kamu yang dapat mempersaksikan bahwasanya Allah telah mengharamkan yang kamu haramkan ini." Jika mereka mempersaksikan, maka janganlah kamu ikut (pula) menjadi saksi bersama mereka; dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami, dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, sedang mereka mempersekutukan Tuhan mereka. Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia,
    2.      Berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan
    3.      Janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan
    4.      Janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji (homoseks, seks bebas dan incest), baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan hayat (nilai kemanusiaan)
    5.      Janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya).
    6.      Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.
    7.      Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya.
    8.      Dan apabila kamu bersaksi, maka hendaklah kamu berlaku adil kendati pun dia adalah kerabat (mu), dan
    Amanah (Nilai Kejujuran)
    9.      Penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat,
    10.  Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.
    G.      Hubungan antara Islam dan Moral
    Apabila etika dan moral dihubungkan maka dapat dikatakan bahwa antara etika dan moral memiliki obyek yang sama yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia untuk selanjutnya di tentukan posisinya baik atau buruk. Tolak ukur yang di gunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan, dan lainnya yang berlaku dimasyarakat.
    Menurut Ibnu Arabi hati manusia itu bisa baik dan buruk, karena di dalam diri manusia terdapat 3 nafsu:[26]
    1.       Syahwaniyah
    Nafsu ini ada pada diri manusia dan binatang yaitu nafsu pada kelezatan (makanan,minuman) dan syahwat jasmani. Apabila manusia tidak mengendalikan nafsu ini maka manusia tidak ada bedanya dengan binatang.
    2.       Al-Ghadabiyah
    Nafsu ini juga ada pada diri manusia dan binatang , cenderung pada marah, merusak, ambisi dan senang menguasai dan mengalahkan orang lain serta lebih kuat di banding dengan syahwaniyah dan berbahaya jika tidak dikendalikan.


    3.       Al-Nathiqah
    Nafsu yang membedakan manusia dengan binatang. Nafsu ini mampu membuat berzikir, mengambil hikmah, memahami fenomena alam dan manusia menjadi agung, besar cita-citanya, kagum terhadap dirinya hingga bersyukur kepada Allah. Yang menjadikan manusia dapat mengendalikan 2 nafsu di atas dan membedakan mana yang baik dan mana yang buruk
    Adapun manfaat hubungan antara Islam, moral, dan etika dalam kehidupan sehari-hari ialah sebagai berikut:
    a.      Menjadikan insan yang lebih taqwa kepada Allah.
    1. Dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk.
    2. Memperbaiki tingkah laku manusia untuk menjadi pribadi yang baik.
    3. Mengetahui dampak positif  hidup rukun  dalam kehidupan.
    4. Memahami pentingnya arti persatuan di dalam kehudipan.
    5. Menumbuhkan kesadaran pribadi untuk membentuk nuansa kebersamaan dalam kehidupan sosial.
    6. Dapat berperilaku mahmudah yaitu berakhlak terpuji dan mampu mennghindari akhlak madzmumah.












    BAB III
    PENUTUP

    3.1    Kesimpulan
    Berdasarkan penjelasan di atas saya disimpulkan bahwa etika merupakan suatu pola perilaku yang dihasilkan oleh akal manusia dan suatu paham keilmuan yang berguna untuk menentukan pakah perbuatan manusia itu dikatakan baik atau buruk berdasarkan pendapat akal pikiran. Definisi moral merupakan nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya
    Keterkaitan Etika Moral dan Akhlak sangatlah penting bagi kehidupan sehari hari dan Kesemuanya itu juga dapat menjadi pedoman bagi kita untuk mengevaluasi keadaan di sekitar kita serta kita dapat dengan mudah memfilterisasi segala sesuatu yang kita dapatkan, agar kita menjadi pribadi yang ber-etika, moral, dan akhlak yang baik.
    3.2    Saran
    Sebagai penutup dalam pembahasan makalah ini, kami sadar bahwasannya masih terdapat kekurangan baik dalam segi pembahasan maupun sistematika pembuatannya. Maka dari itu penulis mengharapkan akan adanya sebuah saran dari pembaca yang mana dengan saran tersebut insya Allah aan kami jadikan motivasi yang membangun dalam penyempurnaan makalah selanjutnya.











    [1]https://enjanglife.wordpress.com/2011/11/22/islam-dan-moral/ diakses hari Sabtu tanggal 27 Desember 2014 pukul 04:46 WIB

    [2]Fathurahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 145
    [3]Ahmad Mansur Noor, Peranan Moral Dalam Membina Kesadaran Hukum, (Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam DEPAG RI, 1985), hlm. 7
    [4]Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Ihya ‘Ulum al-Din, Vol. III (Kairo: Dar al Hadith, 1994), hlm. 86
    [5]Abi Bakr Jabir al-Jaziri, Minhaj al-Muslim, (Madinah al-Munawwarah: Maktabah al-’Ulum wa al-H, t.th), hlm. 127
    [6]Amin Abdullah, Filsafat Etika Islam, (Bandung: Mizan, 2002), hlm. 17
    [7]Fathurahman Djamil, op.cit, hlm. 148
    [8]Rifyal Ka’bah, Menegakkan Syariat Islam di Indonesia, (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), hlm.142
    [9]Ibid., hlm. 143-144
    [10]Ahmad Mansur Noor, Peranan Moral dalam Membina Kesadaran Hukum, (Jakarta: Binbaga Islam DEPAG RI, 1985), hlm. 31
    [11]Fathurahman Djamil, op.cit, hlm. 151
    [12]Muhammad Muslehuddin, Philosophy of Islamic Law and the Orientalists, (Delhi: Markazi Maktaba Islami, 1985),  hlm. 34
    [13]Bakri Siregar, Pengantar Filsafat Hukum, terj, (Jakarta: Erlangga, 1984), hlm. 22-23
    [14]Fathurahman Djamil, op.cit, hlm. 152
    [15]C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Balai Pustaka, 1992), hlm.56
    [16]Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hlm. 27-28
    [17]Ibid., hlm. 150
    [18]Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1995), hlm. 64-65
    [19]Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, (Yogyakarta: Kanisius, 1982), hlm. 231-234
    [20]Muhammad Muslehuddin, op.cit, hlm. 19
    [21]Rifyal Ka’bah, op.cit, hlm.  146
    [22]Fathurahman Djamil, op.cit, hlm. 154
    [23]Ahmad Azhar Basyir, Refleksi Atas Persoalan Keislaman, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 137-138

    [25]Ibid.,
    [26]Ibid.,

    0 komentar:

    Posting Komentar